9. Keluarga Pabrik Boneka ============================================ Ebook Cersil, Teenlit, Novel (www.zheraf.net) Gudang Ebook Ponsel http://www.ebookHP.com ============================================ IBU melahirkan lagi. Perempuan lagi! Huh, betapa sebalnya aku. Enam orang sudah jumlah adikku. Semuanya perempuan. Kini ditambah satu lagi. Jadi tujuh. Sudah terlalu banyak. Ini tak boleh diteruskan. Umurku baru 14 tahun, kelas dua SMP. Tapi adikku sudah sedemikian banyak. Betapa riuhnya suasana rumah. Aku malu kepada teman-teman. Ya, aku malu, sebab mereka menjuluki keluargaku sebagai pabrik boneka! Tujuh adik, terus terang, bagiku terlalu banyak. Bagaimana orangtuaku nanti sanggup menyekolahkan mereka? Sedangkan Ayahku bekerja cuma sebagai sopir Bajaj. Ibuku tak punya ketrampilan apa-apa. Tinggal pun masih di rumah kontrakan. Sementara profesi ayahku dari dulu tidak berubah-ubah, tetap sebagai sopir Bajaj. Berapa sih penghasilan seorang sopir Bajaj? Aku tak bermaksud meremehkan beliau. Tapi, apakah Ayah tak pernah mau berpikir sedikit pun, bahwa di zaman sekarang ini semakin banyak anak kehidupan semakin sulit? Mengapa Ia rajin benar mencetak anak? Buktinya, ayah dan ibuku sering bertengkar hanya karena persoalan sepele. “Ton, orangtuamu buka pabrik boneka, ya?” demikian teman-temanku selalu mengejek di sekolah. Betapa menyakitkan! Walau ejekan itu tujuannya baik, kadang-kadang aku tak bisa menerimanya. Siapa yang tak sakit hati dikatakan punya orangtua buka pabrik boneka alias anak? Ya, kadang-kadang aku memang tidak bisa terima. Untuk itu, siapa saja yang berani mengejekku secara terang-terangan di depanku, sebagai imbalannya kuberi dia bogem mentahku. Tapi semenjak aku kalah berduel dengan Roter seminggu yang lalu, juga oleh persoalan tersebut, bogem mentahku tak bisa lagi diajak bicara. Akibatnya teman-teman bukannya berhenti mengejek, sebaliknya malah terus memberikan sebutan-sebutan baru kepada orangtuaku. Dikatakannya orangtuaku kuno, masih terkena faham “banyak anak banyak rezeki”. Dikatakannya orangtuaku buta huruf, tak bisa membaca dan memahami arti Keluarga Berencana. Dikatakannya orangtuaku tuli terhadap seruan pemerintah yang bermaksud baik tersebut. Ah, betapa aku ingin menangis. Betapa aku ingin menjerit. Aku tahu, mereka berani mengejekku karena aku bertubuh kecil. Melawan siapa pun pasti kalah. Memang tidak ada artinya bogem mentahku yang kecil ini bila dibandingkan tubuh Roter yang besar itu. Tapi, kali ini aku tak boleb mengalah terus. Ejekan-ejekan itu harus kuhentikan. Aku sudah jenuh. Aku harus membuar perhitungan dengan mereka. Tidak dengan bogem mentahku yang kecil ini, tapi dengan otak. Ya, dengan otak. Agar mereka berhenti berkicau, dan agar mereka tahu perasaanku. Maka siang itu, setelah bel pulang sekolab berdentang, dan setelah Pak guru meninggalkan ruangan kelas, aku buru-buru berdiri di depan kelas. Kuketuk meja keras-keras sambil berkata, “Teman-teman, aku harap jangan pulang dulu. Hari ini ada yang ingin kukatakan pada kalian. Duduklah dulu!” “Huu..uu..uuu!” suara mereka nibut. Ada yang mencemooh, ada pula yang terheran-heran. Mungkin sikapku kali ini mereka rasakan agak aneh. “Aku minta kesadaran teman-teman. ini soal penting!” kataku hampir berteriak sambil memukul meja dengan keras. Kalau di situ ada cermin, mungkin aku dapat melihat, bagaimana seramnya wajahku saat itu, sebab mataku kupelototkan sedemikian rupa, hampir-hampir terlepas rasanya. Barulah setelah melihat kesungguhanku, dan setelah si Ahmad, ketua kelas kami, ikut menenangkan suasana, teman-temanku duduk kembali di kursinya masing-masing. Semua mata tertuju padaku, pada si Tono yang bertubuh kecil ini. “Teman-teman, sudah lama sebetulnya hal ini ingin kukatakan pada kalian, tapi baru sekarang aku berani bicara di hadapan kalian. Terus terang, selama ini aku kecewa dan merasa sedih melihat sikap kalian yang terus-menerus mengejekku karena aku mempunyai adik begitu banyak. Aku sedih, karena teman-teman hanya bisa mengejek tanpa dapat memberikan jalan keluarnya. Apakah teman-teman tidak tahu perasaanku? Bagaimana seandainya yang jadi aku adalah kalian? Apakah teman-teman juga bisa menerima ejekan-ejekan tersebut?” kupandang lurus-lurus wajah demi Wajah yang duduk tercenung di depanku. Mereka semua membisu. “Mengapa kalian diam?” tantangku. Tiba-tiba Roter yang duduk di belakang, berdiri. “Kami tidak bermaksud mengejekmu, Ton. Tapi sekadar mengingatkan. Jangan salah terima. Kamu kan anak pertama. Setidak-tidaknya bisa memberi pengertian pada orangtuamu tentang pentingnya keluarga berencana!” katanya. “Betul! Betul! itu maksud kami, Ton!” sambung teman-teman yang lain. “Kami tidak bermaksud membatasi berapa seseorang boleh punya anak, sebab itu hak setiap orang. Tapi membuat perencanaan terhadap masa depan keluarga juga penting, Ton!” ujar Trisna. “Betul! Betul! Itu maksud kami, Ton!” sahut teman-temanku lagi. Aku masih diam membisu di depan kelas. “Ya, kami sebetulnya juga ikut merasakan beratnya beban hidupmu, Ton. Apalagi kamu sepulang sekolah harus menyemir sepatu untuk mencari tambahan biaya hidup. Adik banyak bukanlah hal yang menyenangkan, setidak-tidaknya di negeri yang sudah padat seperti negara kita ini. Apalagi sekarang ini penghidupan semakin sulit, biaya sekolah bertambah mahal, pengangguran bertambah banyak dan kejahatan kian merajalela. Apakah kita akan terus menambah koleksi boneka yang tak bermutu? Kalau pemerintah mau ikut membiayai sekolah anak-anak miskin, mungkin itu lain perkara. Tapi pemerintah yang sudah dibebani hutang luar negeri demikian banyak dan sibuk memberantas korupsi ini, tentu bebannya juga tak ingin bertambah berat lagi akibat dari ketololan kita, bukan?” tambah si Hengky. “Justru itulah, seharusnya kalian ikut mencarikan jalan keluarnya. Bukan hanya pandai mengejek. Sebab, ketahuilah, bukan hanya orangtuaku saja yang memiliki anak bejibun. Masih banyak onangtua miskin lainnya yang jumlah anaknya juga berlusin-lusin!” demikian jawabku. Semua temanku mengangguk-angguk. Kini mereka faham apa maksud perkataanku. Dan kini semoga saja mereka tahu perasaanku. Tapi aku sebenarnya tak menyalahkan peringatan teman-temanku itu. Apa yang mereka katakan ada benarnya. Beban hidupku memang berat. Anak seusiaku seharusnya waktunya digunakan khusus untuk belajar. Tapi aku, Tono, murid kelas dua SMP yang bertubuh kecil dan kurus ini, sepulang sekolah harus menyemir sepatu di stasiun kereta api hingga Maghrib tiba untuk mencari tambahan biaya hidup. Kadang konsentrasiku dalam belajar berkurang. Tak heran bila nilai ulanganku terus merosot. Apalagi Bajaj Ayahku belakangan mi sering mogok, dan Ayahku sering mengeluh karena badannya selalu masuk angin. Terpaksa aku mencari uang tambahan lainnya, tak hanya menyemir sepatu, tapi kadang juga merangkap berjualan koran. *** SORE itu, ketika aku tercenung di beranda rumah memandangi adik-adikku yang sedang bermain di lantai, ibu menghampiri sambil menggendong si bayi. “Sudahlah, Ton. Tak perlu bersedih,” katanya. “Pak Haji telah berbaik hati kembali, dia masih membolehkan kita menempati kamar ini meskipun sewanya menunggak lagi,” lanjutnya. Aku menelan pil pahit. Uang kontrakan rumah ini memang sudah menunggak dua bulan. Bulan kemarin aku yang ikut melunasinya. Tapi bulan ini uang tabunganku habis buat berobat ayah kemarin, ke dokter. “Sabarlah. Tuhan itu maha adil. Pasti nanti ada jalan keluarnya,” kata Ibu lagi. Aku diam. Suara adik-adikku ribut sekali memperebutkan sebuah boneka. Ada yang menangis, ada yang tertawa, yang lainnya merengek-rengek minta uang jajan. Betapa menyebalkan. Kupandangi adik-adikku antara rasa kasihan dan jengkel. “Ibu tahu apa yang kau pikirkan selama ini. Memang mi salah Ibu. Tapi kalau sudah terlanjur seperti ini, bagaimana?” ujarnya lagi. Aku masih tetap diam. Kupandang langit yang berwarna kelabu. “Ini semua sebetulnya di luar rencana. Setelah melahirkanmu, Ibu hamil tiga kali lagi. Dan tiga kali pula Ibu melahirkan bayi kembar, dan semuanya perempuan. Tapi ayahmu masih penasaran. Ia minta lagi, karena ingin punya anak lelaki seperti kau. Lalu Ibu hamil lagi. Ternyata adikmu yang ketujuh ini, lagi-lagi perempuan!” demikian Ibu bercerita seolah berusaha menghiburku sekaligus mengurangi beban jiwanya. Tapi, menurutku ibu tak bersalah. Semuanya sudah terlanjur terjadi. Habis mau apa? Apakah adik-adikku itu harus dikembalikan ke perut Ibu? Lagi-lagi aku tersenyum pahit. Tidak! Biar bagai mana pun aku harus tetap menyayangi adik-adikku, seperti Ibu menyayangi anak-anaknya. “Delapan anak Ibu rasa sudah cukup. Ibu takkan menambah lagi,” kata Ibu sambil mendiamkan bayinya yang tiba-tiba merengek. Aku masih juga diam. Aku tak tahu, apakah harus tertawa atau menangis mendengar ucapannya yang terakhir itu. Ibu bilang, delapan anak ia rasa sudah cukup. Memangnya dia punya target ingin berapa anak lagi? Apakah delapan anak masih kurang? Kembali aku tersenyum pahit. Bayangkan, delapan anak, masih kecil-kecil, tinggal di kamar kontrakan yang sempit. Tinggal berdesak-desak. Itu pun sewanya masih menunggak dua buIan. Uh! Ketika aku sedang merenungi nasibku sore itu, tiba-tiba dan ujung jalan nampak Ayah dengan tubuh rentanya sedang bersusah-payah mendorong Bajaj masuk ke dalam gang yang becek. Mataku melotot melihatnya. Mengapa harus didorong? Buru-buru aku membantunya. “Huh, Bajaj ini mogok lagi. Dasar sial!” ayahku mengomel. Aku cuma geleng-geleng kepala. *** ============================================ Ebook Cersil, Teenlit, Novel (www.zheraf.net) Gudang Ebook Ponsel http://www.ebookHP.com ============================================